Kasus Bank Summa

PT Astra International Tbk merupakan salah satu kelompok bisnis terbesar di Indonesia, yang didirikan sejak tanggal 20 Februari 1957 oleh William Soeryadjaya. Perusahaan ini telah tercatat di Bursa Efek Jakarta sejak tanggal 4 April 1990. Saat itu William Soeryadjaya sempat menjadi orang terkaya nomor 2 di Indonesia. Namun kejayaan William Soeryadjaya tidak berlangsung lama. Hal ini disebabkan oleh kejatuhan Bank Summa yang dimiliki oleh putra sulungnya, Edward Soeryadjaya, yang berniat "membalap" sang ayah.

Edward mulai dengan mendirikan Summa Internasional Bank Ltd. tahun 1979 di Port Vila, Vanuatu, dengan modal 25 juta dollar AS. Setahun kemudian ia membidik HongKong, dan dari sana Edward melanglang ke Jerman. Tiga tahun kemudian, Edward berpatungan dengan pengusaha HongKong melebarkan sayapnya ke Indonesia, dengan mendirikan Summa International Finance Co. Ltd. (kemudian menjadi Indover Summa Finance, usaha patungan dengan anak perusahaan Bank Indonesia, Indover). Bisnis Edward maju pesat. Ia memborong saham sejumlah perusahaan besar, seperti Bank Asia, yang kemudian namanya menjadi Bank Summa. Selain itu, ia ikut memiliki Bandung Indah Plaza, Hotel Mirama (Surabaya), Hotel Sabang (Jakarta), dan berbagai macam bisnis properti dan keuangan. Edward juga dikenal "murah hati" karena memodali bisnis teman-temannya.

Bank Summa mengalami musibah karena kreditnya yang sebagian besar disalurkan kepada grup perusahaan sendiri ( Summa Grup ) ternyata macet, karena proyek-proyek yang dibiayainya gagal. Summa merugi Rp 591 miliar. Dari Rp 1,5 triliun total kredit yang disalurkannya, Rp 1 triliun di antaranya macet.
Pada tahun 1990 pemerintah memberlakukan kebijakan uang ketat yang mengakibatkan Bank Summa semakin mengalami kesulitan likuiditas. Tidak lama setelah adanya kebijakan tersebut, dikabarkan Bank Summa benar-benar mengalami krisis keuangan yang hanya bisa diatasi dengan suntikan dana segar. Tapi Williem Soeryadjaya tidak melakukannya. Dia mengirimkan pasukan penyelamat dari Astra, perusahaan miliknya. tetapi Bank Summa tetap merana. Pada Juni 1992, Williem mengambil alih 100 persen saham Bank Summa.

Kesehatan Bank Summa tetap memburuk meskipun beberapa bank telah memberikan bantuan pinjaman. Hal ini dikarenakan jumlah utang yang terlalu banyak, ditaksir mencapai Rp 1,7 triliun. William pun melakukan beberapa upaya penyelamatan dengan menjaminkan seratus juta lembar saham Astra Internasional senilai sekitar Rp 1 triliun, meminta jasa Mu’min Ali dari Bank Panin untuk memberikan konsultasi manajemen, meminta bantuan dana dari pemerintah dan juga menandatangani kontrak penyelamatan dengan 30 pengusaha dari group Prasetya Mulya. Tetapi semua dana tersebut juga tidak dapat menutupi hutangnya.

Vonis pun jatuh pada tanggal 14 Desember 1992, Bank Summa dilikuidasi pemerintah berdasarkan UU Perbankan 1992. Pada saat dilikuidasi, aset Bank Summa hanya tinggal Rp 700 miliar dari jumlah semula Rp 1,9 triliun Akhir dari krisis Bank Summa, William harus rela melepaskan sebagian besar sahamnya di PT Astra Internasional yang berjumlah 100 juta lembar. Lalu dibentuklah tim likuidasi oleh BI. Tim itu butuh waktu lebih dari dua tahun untuk mengembalikan uang nasabah. Tim tersebut menentukan prioritas mana dari kewajiban Summa yang harus segera diselesaikan. Rupanya, pajak pemerintah menjadi prioritas pertama. Baru kemudian pesangon karyawan dan para kreditur. Ternyata, kreditur kecil yang punya uang di Summa sekitar Rp 10 juta, termasuk prioritas paling bawah, padahal jumlah mereka sekitar 9000 orang. Itu pun masih pakai syarat: jika aset Summa terjual hanya 50 persen, maka nasabah kecil itu hanya akan dibayar 50 persen dari deposito atau tabungannya.
Banyak pihak yang dikabarkan akan membeli aset Summa. Di antaranya penyanyi pop Rinto Harahap yang "maju" dengan bendera grupnya Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut. Tapi Rinto belakangan urung membeli Summa. Berbagai pihak yang juga mendekati Summa tak kunjung membuahkan hasil.

Dari hasil pelacakan TLBS, ditemukan jumlah tagihan Bank Summa sebesar Rp 1,646 triliun dan kewajibannya sebesar Rp 1,455 trilyun. Sebelum dilakukan pencabutan izin, Bank Summa telah melunasi utangnya kepada 166.378 penabung yang mempunyai simpanan di bawah Rp 10 juta. Untuk melakukan pembayaran tersebut, TLBS meminta bantuan dana dari konsorsium 13 bank nasional, sebesar Rp 131 milyar. Kemudian untuk menjamin pengembalian utang Bank Summa, William Soeryadjaya telah memberikan jaminan pribadi yang didukung 31 aset Grup Summa.

Silahkan lihat artikel bisnis lainnya di Business Article List